Pada hari Jumat, 15 Januari 2021, Gempa berkekuatan 6,2 SR mengguncang Sulawesi Barat dengan pusat gempa di wilayah Majene dan sekitarnya. Beberapa fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit, perkantoran, dan rumah hancur runtuh total, ribuan orang mengungsi ke tempat yang dianggap lebih aman. Sebuah bencana yang memilukan hati, terlebih bencana ini terjadi di saat seluruh dunia sedang berjuang melawan pandemi COVID-19. Sebuah keadaan yang membutuhkan penanganan khusus dan tepat.
Beruntung Gereja Santa Maria Ratu Rosari, Mamuju masih berdiri tegap meski ada beberapa bagian yang retak dan lokasi gereja yang relatif aman karena berada di puncak perbukitan kota Mamuju. Di kompleks pelayanan Paroki Mamuju inilah pusat aksi bela rasa berpusat.
Sejak awal bencana, Pastor Paroki, Victor Wiro Patinggi Pr dengan sigap mengkoordinir bantuan untuk para penyintas bersama dengan tim tanggap bencana yang pernah memperoleh pelatihan dari Caritas Indonesia, Karina KWI. Beberapa hari kemudian tim Caritas Makassar hadir dengan diikuti staf dari Carita Indonesia, Rudi Raka dan satu minggu kemudian disusul relawan dari LDD KAJ, Pipit Prahoro serta Caritas Tanjung Karang, FX Iwan. Sebuah gerak bersama serta sinergi dari jaringan Caritas Indonesia dan kearifan lokal, layaklah pos pelayanan ini diberi nama, Pos Pelayanan Kemanusiaan Gempa Sulawesi Barat, Jaringan Caritas Indonesia, Paroki St Maria Ratu Rosari Mamuju.
Bencana ini telah menggerakan sikap bela rasa siapapun juga, khususnya mereka yang tinggal di paroki sekitar se-kevikepan dan se-keuskupan. Paroki Baras, Paroki Poliwali, Paroki Mamasa, Paroki Pare-pare, bahkan Paroki Palu dari Keuskupan Manado turut mengirimkan bantuan ke Pos Pelayanan di Paroki Mamuju. Kevikepan Luwu juga mengirimkan bantuan serta relawannya, sehingga jumlah relawan pada minggu kedua setelah gempa di pos pelayanan Gereja Santa Maria Ratu Rosari tidak kurang dari 60 orang, termasuk pastor Vikjen, direktur Caritas Makassar dan 3 pastor pendamping, sebuah jumlah yang luar biasa.
Bukan sekedar jumlah, angka itu menunjukkan potensi kekuatan pelayanan yang menakjubkan, terlebih karena musibah ini terjadi di tengah pandemi.
Pada masa biasa tanpa pandemi, tentu saja banyak proses dan ketentuan yang harus dijalani layaknya sebuah pos sebagai pusat pelayanan respons bencana. Sedangkan, aksi bela rasa di masa pandemi ini tentu memiliki penekanan-penekanan tertentu yang tidak hanya berpusat pada penyintas sebagai tujuan atau sasaran pelayanan namun juga harus memberi atensi khusus pada para relawan atau pelaku dalam melakukan aksi bela rasa itu sendiri.
Di masa pandemi ini, pastinya seluruh proses pendistribusian harus dilakukan dengan menggunakan protokol kesehatan yang baku. Seluruh relawan menggunakan masker, menjaga jarak, tidak bersentuhan, serta selalu menggunakan hand sanitizer atau mencuci tangan pada saat tertentu, menjadi bagian dalam mewarnai ritme dari seluruh proses pendistribusian bantuan. Hal ini dilakukan untuk menjaga dan memastikan bahwa seluruh relawan dalam kondisi yang sehat atau tidak dalam keadaan terinfeksi virus, khususnya para relawan di bidang asesmen dan distribusi, seluruhnya melakukan tes Swab Antigen di Desk Relawan BNPB, demikian pula para relawan yang baru saja bergabung.
Swab Antigen menjadi hal pokok yang harus dilakukan secara periodik untuk memastikan kesehatan para relawan atau siapapun yang berada di pos pelayanan. Karena keberlangsungan pelayanan untuk menyapa para penyintas merupakan tujuan akhir dari aksi bela rasa ini, hingga suatu saat nanti, penyintas dan relawan dapat kembali kepada kehidupannya sedia kala tanpa di bawah bayang-bayang kekhawatiran terinfeksi virus Corona Covid 19.
Artikel ini ditulis oleh: Pipit Prahoro
Artikel ini diedit oleh: Derren Permana