“…Studi tentang tanda-tanda dan cara kerjanya merupakan wilayah kajian semiotika di mana ada dua unsur penting yang menyusun sebuah tanda yaitu penanda atau yang menandai (the signifier) dan petanda atau yang ditandai (the signified}. Sebuah penanda adalah bentuk atau medium dari tanda-tanda, contohnya suara, imaji, atau coretan yang membentuk kata dalam sebuah halaman; sementara petanda atau yang ditandai dipahami dalam kerangka konsep dan makna. Aktivitas yang menghasilkan makna lewat pengaturan tanda-tandi disebut “praktik penandaan” (signifiying practices) seperti tulisan ata lukisan. Sementara itu, totalitas tand-tanda yang bisa dipakai atau dijadikan sumber untuk menulis atau melukis disebut sebagai “sistem penandaan” (a signifiying system) …”
Barker, 2014
Lisan menjadi Tulisan
Tulisan adalah penemuan dalam praktik komunikasi manusia, hasil upaya manusia untuk mengawetkan bunyi, alat yang dipergunakan sebagian besar makhluk dalam berkomunikasi. Menurut catatan tulisan baru dikenal manusia sekitar 3.000 tahun SM; sebelumnya puluhan bahkan ratusan juta tahun kita hanya berkomunikasi lewat bunyi. Orang Mesir disebut-sebut sebagai salah satu bangsa yang pertama kali memerlukan aksara untuk berkomunikasi; dengan huruf hieroglif bangsa Mesir telah berhasil mengkomunikasikan keberadaan mereka dengan kita—orang yang hidup dengan jarak ribuan tahun dan jarak tempat yang tidak terbatas. Di zaman sekarang kita masih dapat membaca catatan-catatan bangsa Mesir kuno dari mana saja, tanpa harus pergi ke sana.
Walter J. Ong dalam bukunya Technologizing of the World Menyebut tulisan sebagai hasil teknologi manusia. Proses perubahan dari bunyi menjadi aksara, dari pendengaran menjadi penglihatan, itu berlangsung secara bertahap. Dalam pembicaraan yang menyangkut kertas dan tinta, nenek moyang kita mula-mula menggunakan alat tulis yang antara lain berupa bulu angsa untuk menggoreskan huruf ke atas kertas.
Setelah itu diciptakan mesin cetak. Dengan temuan ini tulisan yang dibuat dapat dilipatgandakan ratusan bahkan ribuan eksemplar dan disebarkan ke berbagai tempat lintas kota juga negara; setelah itu muncul mesin ketik manual dengan tinta pita; dan sekarang kita tidak perlu lagi menggunakan bulu angsa dan tinta, cukup dengan teknologi yang menghasilkan komputer. Kita tidak lagi membutuhkan kertas dan tinta untuk berkomunikasi tetapi cukup menekan-nekan tombol keyboard dan mengirimkan tulisan kita lewat dunia maya ke orang yang kita ajak berkomunikasi.
Kertas Sentuh
Louis Braille (1809-1852) melakukan inovasi tulisan timbul yang digunakan untuk tunanetra. Beliau terinspirasi oleh Charles Berbier yang menciptakan tulisan sandi berupa titik-titik timbul. Tulisan tersebut digunakan untuk kepentingan militer yang dibaca dengan cara diraba. Titik dalam tulisan ini terdiri atas titik yang berjajar dua-dua dalam bentuk vertikal.
Gagasan yang melatarbelakangi Louis Braille untuk membuat huruf timbul dengan titik-titik adalah memindahkan tulisan awas yang terlihat mata menjadi tulisan yang dapat diraba dengan jari. Beliau mengembangkan model penulisan huruf yang digunakan Barbier. Dia membuat enam titik dengan susunan tiga-tiga berdampingan. Dengan demikian, enam titik ini dapat membentuk kode abjad yang lebih jelas. Sistem penulisan inilah yang kita kenal sebagai huruf Braille. Setelah itu diciptakan juga alat tulisnya yaitu riglet dan stilus (diIndonesiakan). Untuk mempercepat penulisan maka, dibuatlah mesin ketik Braille oleh Frank Haven Hall sekitar tahun 1892.
Layar Sentuh
Memasuki awal abad ke-21, perkembangan teknologi secara umum memasuki perubahan dari sistem analog ke digital. Hal tersebut juga terjadi pada teknologi komunikasi khususnya telepon genggam. Di era digital, telepon genggam atau yang disebut telepon pintar mempunyai banyak keunggulan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Mulai dari surat elektronik, foto, video, musik, berbagai media sosial, termasuk juga beagam format tulisan seperti buku elektronik, docx, PDF, atau Txt—semuanya dapat diakses dan dibaca dengan menggunakan teknik sentuh dan ketuk pada layar.
Tunanetra dapat membaca segala tampilan menu yang ada di layar telepon dengan menggunakan aplikasi pembaca layar yang dapat diunduh atau sudah ada dalam telepon pintar. Aplikasi pembaca layar ini dapat berbicara bila layar telepon pintar disentuh—dengan beberapa kombinasi teknik usapan jari ke atas atau ke bawah, ke kiri atau ke kanan, juga teknik ketukan jari. Tunanetra dapat “membaca” dengan mendengarkan apa yang mereka sentuh pada layar berupa berbagai tulisan yang mereka inginkan, dan hal itu dapat dilakukan secara berulang,. Meraka juga dapat menulis catatan, dokumen, surat elektronik dan lainnya dengan menggunakan keyboard sentuh yang tersedia. Keyboard tersebut mempunyai tampilan tombol-tombaol yang sama seperti keyboard pada komputer sebenarnya.
Saling Melengkapi
Dulu, tunanetra secara manual membaca dengan rabaan tangan dan menulis menggunakan riglet stilus atau mesin ketik Braille. Sekarang, dengan media telepon pintar membaca dapat dilakukan dengan teknik sentuhan dan ketukan jari untuk memilih bacaan yang diinginkan, sedangkan menulis dilakukan dengan mengetuk keyboard pada telepon pintar.
Saat ini tunanetra dihadapkan pada dua pilihan untuk melakukan aktifitas baca tulis. Materi fisik huruf Braille dan telepon pintar dengan aplikasi pembaca layar hadir berdapmpingan lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Huruf Braille pada kertas yang diraba lebih mengetengahkan kontak pembaca dengan kertas; ketelitian penelusuran dalam membaca—walaupun membutuhkan materi kertas yang banyak, waktu yang lebih lama, dan tempat penyimpanan yang luas. Di sisi lain aplikasi pembaca layar pada telepon pintar dapat menghemat waktu membaca dan tempat penyimpanan materi fisik bacaan, tetapi ada keterbatasan dalam hal memahami, karena tidak bisa mengulang “membaca” dengan cara mendengarkan secara cepat. Keduanya dapat saling melengkapi bahkan memperkaya akses baca tulis.
Ditulis oleh: Harry